Mantra Dalam Tradisi Melayu

Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001).

Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah /jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru /dan /tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair.

Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan /bomoh /(dukun). Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu :
(1), mantra untuk pengobatan;
(2), mantra untuk ?pakaian? atau pelindung diri;
(3), mantra untuk pekerjaan; dan
(4), mantra adat-istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).

Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami.

Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya.

Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun.

Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka.

Mantra Tradisi Sastra Lisan Melayu
Mantra merupakan salah satu khazanah kebudayaan masyarakat Melayu yang diwariskan secara turun temurun. Berkaitan erat dengan pemikiran, kepercayaan dan corak hidup masyarakat pengamalnya. Namun minimnya interaksi mereka pada alam, menyebabkan mantra semakin tersisihkan dari pola hidup mereka.

Menurut Dosen Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, Martono, suku melayu sangat kaya dengan karya sastra. Ini sebagai bentuk ekspresi kehidupan masyarakat Melayu dimasa lampau yang diwariskan secara turun temurun. Sehingga dapat menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri

Kesusastraan Melayu hidup dan berkembang di Kalimantan Barat mengalami periode penciptaan yang saling mempengaruhi antar satu periode dengan periode lain. Sastra lisan, bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama.

Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi, serapah, tawar, sembur, cuca (cerca), puja, seru dan tangkal.

Tak hanya itu, mantra memperlihatkan juga jejak peradaban yang mempengaruhinya. Sebelum Islam berkembang di negara Indonesia tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Dimana, budaya melayu merupakan perpaduan antara islam budaya lokal yang terlebih dahulu dipengaruhi oleh Hindu – Budha.

Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan seorang ibu kepada anaknya, tukang cerita pada pendengarnya, guru pada muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia : 2001, Mantra diartikan sebagai susunan kata berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib lain.

Mantra Dan Penggunaan
Mantra adalah suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan, menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa), sugestif (anjuran, saran, pengaruh dan sebagainya yang dapat menggerakkan hati orang dan sebagainya), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret.

Menurut Peneliti Kebudayaan Melayu Kalimantan Barat, Hemansyah, penggunaan mantra lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan dukun karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan tertentu. Seperti untuk pengobatan, pelindung diri, ataupun untuk melakukan suatu pekerjaan.

Bentuk Mantra ialah puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. “Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang dibaca, ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya,” ujar Dosen STAIN Pontianak dan mengajar mata kuliah pendidikan Agama Islam di Universitas Tanjungpura pontianak.

Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat melayu, berkaitan dengan pola hidup. Secara khusus menurut Hermansyah, tema yang muncul dalam mantra serta hal yang mengikutinya dapat dibagi menjadi tiga yaitu kepercayaan/iman, syari’ah/ibadah dan akhlak.

Kepercayaan / Iman
Iman melibatkan pengakuan, pengucapan dan perbuatan yang merupakan salah satu pilar utama sejarah islam. Mantra ini diakhiri dengan teks “berkat doa la ilaha illallah muhammadarrasulullah’. Menunjukkan kepercayaan bahwa tidak akan memiliki kekuatan apa-apa jika tidak mendapatkan izin dari Allah. Dapatlah di contohkan pada mantra ini.

Tawar Racun
"Summa kana innama balit ke ia
Bukan ku balit dibalit Allah
Bukan kuasaku kuasa Allah
Allah memakan hu’ menelan
Rampang jatuh ke laut baharullah
Berkat do’a la ilaha illallah
Berkat muhammadarrasullullah"
(Sumber: Kahar, Embau)

Syariah/Ibadah
Ibadah merupakan manifestasi dari pengakuan iman kepada Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Untuk di Kalimantan Barat sendiri, penuturan Hermansyah tidak banyak nilai ibadah yang terdapat dalam mantra melayu. Misalnya mantra berikut menurut pengamalnya hanya akan berjaya jika diamalkan selepas shalat wajib :

Untuk Keselamatan Badan
"Jibril di kanan
Mikail di kiri
Israfil di belakang
Izrail di muka
Allah pelindungku
Binasa Allah Binasa Aku
Tidak Binasa Allah Tidak Binasa Aku"
(Sumber: Yati, Pontianak)

Akhlak
Konsep akhlak dalam islam, tidak hanya dibatasi oleh sopan santun antar sesama manusia, melainkan juga berkaitan dengan sikap batin. Agak banyak mantra Melayu yang berisi konsep akhlak, terutama yang berkaitan dengan kasih sayang. Misalnya seseorang yang mengamalkannya berharap tidak terjadi perkelahian jika berjumpa dengan orang yang tidak menyenanginya. Dimaksudkan agar semula memusuhi berubah sebaliknya dan menghilangkan rasa permusuhan.

Ilmu Tidak Berlawan
"Ilang luput tiada luput
Ilang mati tiada mati
Allah tiada mati
Muhammad pun tiada mati
Larilah engkau
Bukan kuasaku kuasa Allah
Berkat do’a la illaha illallah
Berkat Muhammad-ur-rasulullah"
(Sumber : Anjang, Embau)

Lanjut, Hemansyah, dalam situasi dunia yang semakin terbuka seperti sekarang. Tentu saja berbagai peradaban, termasuk peradaban barat mewarnai dinamika budaya dan peradaban melayu. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka.

Paling tidak, generasi penerus lebih memperhatikan khazanah budaya melayu khususnya Kalimantan Barat agar tidak di gerus zaman. ”dapat di lestarikan walaupun kita tidak menutup diri terhadap perubahan”, imbuhnya.

Tradisi Sastra Lisan Melayu dalam Khazanah Islam
oleh Syf Ratih KD.

Mantra Tradisi Melayu
Salah satu sumbangan penting yang telah diberikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, dimana kata-kata dibebaskan dari beban makna. 
Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau, sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu untuk penciptakaan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya mantra hanyalah “tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan “tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah “tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern —dan penyair itu berasal dari Melayu.

Tetapi, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya hanya akan membuat “tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada “tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi “tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi “tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi “tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

Jamal D. Rahman, penyair dan pemimpin redaksi Majalah Sastra Horison, Jakarta.

sumber: lpmuntan.blogspot.com/journalbali.com/jalod.wordpress.com