MISTERI MANTRA DALAM NASKAH KERATON

Lambang
Sri Sultan Hamengku Buwono X

“Sebaik-baik Ilmu adalah berdoa kepa Allah SWT”

LATAR BELAKANG

PUSAKA Inadonesia terhampar luas dari puncah gunung, pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, termasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara ini merupakan”Pusaka Bangsa” yang dapat memperkuat semangat “Bhinneka Tunggal Ika”. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama  itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu etnik atau kelompak sosial budaya tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah-naskah tersebut.

Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, termasuk dokumen yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama.  Artefak sebagai peninggalan sejarah berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya. Karena hal itu hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui peninggalan dalam bentuk naskah.

Pada masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai pegangan kaum bangsawan   untuk   naskah-naskah   yang   berisi   silsilah,  sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai  alat  pendidikan  untuk  naskah-naskah  yang  berisi  pelajaran agama dan etika, sebagai media menikmati  seni budaya seperti naskah-naskah yang berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan, dan sebagai alat keperluan praktis kehidupan   sehari-hari  untuk   naskah-naskah   yang berisi  primbon  dan  sistem  perhitungan  waktu  serta doa-doa yang bisa disebut mantra.

Seminar  Nasional  yang  mengetengahkan  masalah naskah-naskah kuna Nusantara ini, diharapkan dapat mempublikasikan   kandungan   isi naskah-naskah Nusantara, khususnya mantra, dalam upaya mengungkapkan kekayaan budaya bangsa. Indonesia adalah  salah  satu  negara yang memiliki  warisan kekayaan   khazanah manuscript yang   tergolong terbesar di dunia (tercatat di Perpustakaan Nasional mendekati    angka    10.000    eksemplar    2),    yang dituangkan  melalui  tulisan  tangan  sejak  berabad-abad  silam.  Lewat  tulisan  tangan  itu,  masyarakat mengungkapkan    ide-ide    relegiusnya    mengenai manusia  dan  semesta  alam.  Di  dalam  naskah  yang tersebar di seantero Nusantara itu, terdapat teks yang mengandung  nilai-nilai  kebenaran”  kebajikan  dan keindahan.

Memang    tidak    semua    komunitas    masyarakat Nusantara    memiliki    dan    menyimpan    khazanah pernaskahan  tersebut.  Tidak  semua  kelompok  etnis di   Nusantara   memiliki   peninggalan   tradisi   tulis berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku, etapi  yang  memiliki  naskah  tradisional,  antara  lain suku   Jawa,   Sunda,   Bali,   Sasak,   Batak,   Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan Bugis.

Ada   ribuan   naskah   tradisional   yang   tersebar   di berbagai   daerah   di   Indonesia   yang   memerlukan penanganan  serius.  Lewat  Seminar  ini  diharapkan menjadi  bukti  usaha  memelihara,  mengembangkan dan  meneruskan  warisan  budaya  bangsa.  Naskah tradisional     sebagai     peninggalan     sejarah     dan intelektual  bersama  nilai-nilai  ultural  dan  religius masyarakat,  untuk  dapat  bangkit  menjadi  bangsa yang   cendekia,   erbudaya   dan   arif   di   hadapan tantangan globalisaisi.

NASKAH KUNA DI DALAM KERATON

BANYAK   naskah   kuna   di   dalam   Keraton   yang disebut  kawruh, piwulang atau pitutur-Iuhur dari para  leluhur  yang  dikemas  dalam  pelbagai  naskah yang  tersimpan  sebagai  pus  aka.  Naskah  itu  bisa berupa Babad,  Serat,  Sastra  pewayangan,  Sastra Suluk dan sejenisnya

Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi  tentang  ajaran-ajaran  atau piwulang atau   kisah  dalam   dunia   pewayangan, khususnya  kisah  Mahabarata  dan  Ramayana, Suluk berisi  ajaran  mengenai  hubungan  antara  manusia dengan  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  ajaran  moral,  dan lain-lain. Babad bukan  sejarah  dalam  arti  historis kronologis, tetapi lebih sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat.

Sastra   pengaruh   India   mendominasi   Jawa   dalam waktu  yang  cukup  lama,  karena  baru  pada  jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kitab  Negarakertagama. Sastra     ini mereformasi   mitologi   India   yang   sudah   menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya   kemudian   diganti   dengan   tokoh-tokoh Majapahit secara riil.

Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka, berisi   ajaran   serta   tuntunan   bersatunya makhluk    dengan   Tuhannya.    Berbeda    dengan pandangan    Jawa-Hindu,   seseorang    hanya    bisa berhubungan  dengan  Tuhan,  kalau  dia  itu  pendeta, raja dan. pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan  dewa.  Sedangkan  kitab-kitab Suluk  Seloka mengajarkan  seseorang  dapat  berhubungan  dengan Tuhannya   tanpa   perantara,   dan   ini   berarti   suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.

Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi mantra-mantra  yang  berciri  mitologi  Islam,  seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat Anggit Kidung Berdonga, Serat   Puji,   yang   masih   tersimpan   di   Keraton Yogyakarta.  Lahir  pula Sastra  Piwulang, seperti Serat  Nitisruti,  Serat  Nitipraja, dan Serat  Sewaka, yang   ketiganya   berisi   petunjuk   cara   mengabdi kepada raja dan cara memerintah.

Bentuk metrum  macapat juga  muncul  dalam  karya sastra    sejarah    seperti Babad    Giyanti,    Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah barangkaii kita dapat bercemrin diri akan keberadaan kita    sekarang.    Tatkala    Pangeran    Mangkubumi bergerilya  di  kawasan  Kedu  dan  Kebanaran  pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyantl:   “Satuhune   Sri   Narapati   Mangunahnya Brangti-Wljayanti”‘. Ucapan     itu     menunjukkan keprihatinan   beliau,   bahwa   kultur   Barat   sebagai akses  gencamya  politik  kolonialisme  Belanda  yang mencekik,   akan   membuat   raja-raja   Jawa   terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.

Keadaan   ini   harus   dihadapi   dengan “wijayanti”, untuk  bisa  berjaya  dan  tampil  sebagai  pemenang. Maka dianjurkannya: ‘puwarane sung awerdi, gagat-gagat  wijayai”’, untuk  menjadi  pemenang,  seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar   bisa   menyambut   cerahnya   hari   esok   yang laksana biru nirmala.

Ungkapan  ini   rasanya   ada   paralelisme   sejarah dengan   keadaan   sekarang, di  saat   menghadapi hantaman  derasnya  arus  globalisasi  mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam semua  aspek  kehidupan.  Selain  harus “eling  Ian waspada” menghadapi berbagai godaan dan cobaan di  zaman Kala-Tida ini,  di  mana  banyak  hal  yang diliputi oleh keadaan yang serba “tida-tida” –penuh was-was, keraguan clan ketidakpastian.

MANTRA KONSEPSI HINDU

KONON,   mantra   berasal   dati   kata “man”, yang berarti  pikiran,  dan “tra”, yang  berarti  alat.  Jadi “mantra” berarti “alat   dari   pikiran”. Pengertian mantra menurut Mantra Yoga adalah sebagai berikut :

“Mantras  (or  mantrams)  are  words,  phrases,  or syllables,  which  are  chanted  thoughtfully  and  with growing attention”

["Mantra/mantram  adalah  kata-kata,  ungkapan  atau suku-kata  yang  secara  khusuk  dilagukan  berulang-ulang dengan konsentrasi      yang      semakin meningkat"].

Mantra  adalah  suatu idiom atau  kata  khusus  yang mempunyai   arti   tersendiri.   Bahkan,   menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat.  Dan  menurut  ajaran  agama  Hindu,  mantra adalah kata- kata yang diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai  alat  komunikasi  khusus  dengan  Tuhan  atau dewa-dewa    yang    merupakan   manifestasi    dari kekuatan-Nya.  Karena  itu  tidaklah  mengherankan kalau  mantra  begitu  dikeramatkan,  dan  tidak  boleh sembarang  orang  mengucapkannya  sebelum  pemah mewinten (disucikan  secara  ritual).  Selain  itu,  tidak boleh pula diucapkan di tempat-tempat yang tidak pantas. Demikianlah konsep mantra menurut Hindu.

Dalam  bahasa  Latin  kita  mengenal  kata alpha dan omega. Alpha berarti awal dan omega, akhir. Dalam agama  Hindu  kedua  kata  ini  disingkat  dengan  kata “Om” (awal-akhir), yang berasal dari kata Aum atau semangat  Sabda  Allah yang menciptakan melestarikan dan mentransformasikan mantra Hindu: “Asato  Ma  Sat  Gamayo”, yakni “Bimbinglah  aku dari dunia maya ke dunia Nyata”.

Aum terdiri  dari  tiga  huruf  yakni  A,  U,  dan  M.  A adalah simbol Dewa Brahmana, wujud Tuhan dalam waktu  menciptakan  alam  semesta  ini.  Konon,  pada waktu  mengucapkan  huruf  “A”  itu,  bentuk  mulut mulai  terbuka.  Kemudian  huruf  “u”  adalah  simbol Dewa   Wisnu,   manifestasi   Tuhan   dalam   waktu memelihara      dan      melindungi      alam.      Saat mengucapkan  huruf  ini,  bibir  dipanjangkan  seperti sikap   melindungi   bagian   dalam   dari   mulut   itu sendiri.  Ada  pun  huruf  “M”  adalah  simbol  Dewa Siwa,    manifestasi    Tuhan    yang    mengembalikan segalanya   ke   asalnya.   Pada   waktu   mengucapkan huruf  ini,  bibir  kelihatan  terkatup  rapat  kembali sebagaimana asalnya sebelum terbuka.

Setelah  masuknya  Islam,  pemantraan  masih  tetap dikenal dalam khasanah mistik kita. Mungkin, hanya istilah-istilah   saja   yang   berbeda,   misalnya   ajian, jampi   dan   lain   sebagainya,   seperti   dalam Kitab Mujarobat. Sebenarnya  istilah-istilah  tersebut  tetap mengandung arti sama, yang (dipercaya) menyimpan tuah   tertentu.   Berkaitan   penggunaan   kata “Om”, dalam  mantra-mantra  bemafaskan  Islam  umumnya lalu   diganti   dengan “Bismillahirrohmanirrohim”, yang hakikatnya sama.

MANTRA DI LINGKUNGAN KERATON

“MUHAMMAD kang mengku Rasa”, demikian bunyi mantra  kaligrafis (rajah penolak  bala)  di  bangsal Kencana   Keraton   Yogyakarta.   Dari   sini   menjadi jelas, bahwa pengertian dan penerapan mantra tidak hanya diucapkan atau dinyanyikan, tetapi dapat pula “dimantrakan”    pada    berbagai    medium,    seperti bangunan   (disebut rajah, tertulis   dalam   aksara Jawa/Arab),    pusaka,    azimat,    gamelan, kereta, bedhaya (misalnya bedhaya Semang), sesaji dengan segala uba-rampe-nya      (Gunungan      Sekaten, berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang segala uba-rampe-nya ( Gunungan Sekatenlabuhan), serta benda-bendalain.

Mantra yang awalnya merupakan doa (donga) yang bersifat privat dan vertikal-spiritual –karena diyakini sebagai  wahyu  Tuhan  (dalam  pemahaman  agama Hindu)–    telah    berkembang    ke    sifatnya    yang horisontal-kuItural.  Dalam  pengembangan  sifatnya yang kedua ini, mantra dapat menjadi media defensif atau agresif sebagai kanuragan untuk pertahanan diri atau  guna-guna,  yang  keduanya  bisa  mengandung tujuan positif atau pun negatif.

Mantra  di  lingkungan  Keraton  banyak  tersebar  di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang umumnya   diselipkan   di   dalam   isi   naskah   yang beraksara Jawa dengan aksara Arab (pegon). Selain itu,  ada  yang  sudah  melekat (built-in) pada  pusaka Keraton karena terbawa oleh sejarah pembuatan atau perolehan pusaka itu sendiri.

Sebagai  contoh Kumbang  Ali-ali yang  berbentuk cincin,   pusaka   Keraton   Kasultanan   Yogyakarta. Pusaka  ini  memang  kurang  diketahui  masyarakat umun.   Bentuknya   sederhana   tetapi   punya   nilai historis  tinggi.  Sebab  cincin  itu  pemah  digunakan Pangeran  Mangkubumi  ketika  masih  muda  untuk menempa diri. Bersama pendherek-nya, beliau mesu-raga dan olah-kebatinan di  sepanjang  Kali  Pepe, Surakarta.  Sesungguhnya latihannya sederhana, cincin  dilepas  dan  dilemparkan  ke  dalam  sungai. Kemudian     Pangeran     Mangkubumi     menyelam mencari   cincin   tersebut   sampai   mendapatkannya kembali.

Mengapa   Pangeran   Mangkubumi   gemar   berlatih menyelam  di     Kali     Pepe?     Kalau     dicermati mengandung  ajaran  yang  sangat  dalam.  Bukankah sungai    merupakan    sumber    hidup   bagi    semua makhluk  di  dunia?  Air  dalam  pemahaman  Jawa berkaitan dengan rasa. Dengan demikian sebenarnya Pangeran  Mangkubumi  melakukan olah-rasa untuk menemukan  sumber  hidup  sejati,  yang  tiada  lain adalah  Sang  Maha  Pencipta  sendiri  sebagai  sumber kehidupan adikodrati.

Nama sungainya adalah Kali Pepe. Pepe merupakan perwujudan  protes  anak  manusia  menantang  sinar matahari. Ini merupakan perlambang niat dan tekad yang kuat untuk ‘maneges’ mencari kehendak Allah yang   sejati.   Mencari   cincin   di   dalam   sungai merupakan  sebuah  perlambang  pencarian  sekaligus membentuk   raga,   agar   siap   diri   sebagai   sosok pemimpin dalam menghadapi segala cobaan.

Penyelaman  yang  demikian  lama  ketika  mencari harus   menahan   nafas,   menutup ‘babahan   hawa sanga’ atau  berkonsentrasi,  bertujuan  menemukan cincin yang merupakan tanda ikatan antara Manusia dengan   Tuhan   Sang   Maha   Pencipta-Nya.   Ikatan batin ini perlu dijaga, sebab dalam pemahaman Jawa huruf   pertama   aksara   Jawa: ‘Ha’ mengandung makna: “Hananira   wahananing   Hyang”. Bahwa manusia  itu  ada,  sebenarnya  merupakan  gambaran dari  Allah  sendiri.  Oleh  karena  itu  manusia  wajib menjaga citra Allah di dalam dirinya.

Ketika menjalankan laku ini Pangeran Mangkubumi mencoba  menyelami  substansi  makna pitutur-luhur yang termuat dalam tembang lama, seperti ini:

“Urip  iku  pindha  pesate  warastra  saka  gandewa tang  pinenthang.    Lamun    mleset    siikii    Lesane mbilaeni”.

[Hidup  ibarat  anak  panah  yang  melesat  dari  busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran, bisa berbahaya].

Konon,  pernah  terjadi  perdebatan  tentang  berbagai Kitab   Jawa  Kuna: Arjuna   Wiwaha,   Bima   Suci, Ramayana, dan  ayat-ayat  Al-Qur’an  yang  direkam dalam Serat  Cebolek. Dalam  forum  itu,  Pangeran Mangkubumi datang   terlambat   karena     baru berperang  melawan ama-menthek (setan  anak  kecil yang  dipercaya  menyebabkan  kerusakan  tanaman padi).  Dengan  berpegang  pada  ayat-ayat  suci  Al-Qur’an  sebagai  mantra,  beliau  dapat  mengalahkan raja menthek, yang   kemudian  mengabdikan   diri kepadanya.

Apabila   di   kemudian   hari   Mangkubumi   dalam kedudukannya sebagai Sultan Hamengku Buwono I bertapa di tengah air di   kompleks   Taman   Sari, baginya  air  bukanlah  sekadar  tempat among-suka, melainkan tempat menunaikan laku demi masyarakat petani. Tradisi  pembuatan  kolam  di  sekitar  istana,  juga sudah   terlihat   di   Keraton   Plered   yang   dibangun Sultan  Agung  pada  bagian  akhir  pemerintahannya dengan  membendung  Sungai  Opak  dan  Winanga.  Sesungguhnya  Taman  Sari  adalah  bangunan  irigasi dalam  konteks  peradaban  kota  pra-industri  dalam membangun   oriental   despotisme  yang   membuat ketergantungan kaum tani kepada para elite kerajaan.

Mengingat pada zaman Serat Cebolek, Mangkubumi dimitoskan  sebagai  penakluk  raja menthek, kiranya pada  waktu  pembangunan  Taman  Sari  25  tahun kemudian,  mitos  ini  masih  tetap  melekat.  Masjid kecil  di  Taman  Sari  yang  hanya  dapat  dimasuki lewat     lorong     bawah     air Sumur     Gumuling, diperkirakan berfungsi sebagai tempat samadi beliau untuk   menjinakkan    raja menthek yang    telah ditundukkan olehnya.

Menurut hemat saya, deskripsi dan analisis Prof. Dr. Alexander Sudewa dalam Pidato Pengukuhannya itu, perlu  kita  cermati  bersama  saat  akan  melakukan renovasi   kompleks   Taman   Sari   dalam   rangka kerjasama dengan Pemerintah Portugal.

Dalam  konteks  mantra  lainnya,  dapat  diilustrasikan dari Kitab Wedha- Mantra, yang masih tersimpan di Museum   Sanabudaya.  Kitab   itu   memuat ngelmu kebatinan   Kangjeng   Sunan   Kalijaga.  Pada   bab “Masaalah  Dhikir” yang  ada  kemiripannya  dengan cara   penulisan   puisi “Tamba   Ati’” karya   Sunan Bonang, seperti di bawab ini:

“Iki  bab  masaalah  dhikir,  iku  ana  nem  prakara. Kang sapisan iku dhikir Suwul arane, tegese dhikir iya  anteng  ing  napas.  Kang  kapindho  iku  dhikir Suwul-   istilah   arane,   dhikir   iya   tegese   anyipta gurune, angadeg ana netrane alise. Kang taping telu iku  dhikir  Istilah  -ruk-iyat  arane,  tegese  dhikir  iya ilange  ‘ilmune.  Kang  kaping  pat  iku  dhikir  Suwul ngeski  arane,  tegese  ilang  birahine.Kang  kaping lima iku dhikir Suwul- ngiskiyah arane, tegese dhikir iya ilange liyepe kari lengude.Kang kaping nem iku dhikir   Nakisbandiyah   arane,   tegese   iya   dhikir ngilangake    kahanan    kabeh,    iya    kari    mung wujudullah, ing dalem isbat Ian ilange alip, iku dadi lah-hu,  Ian  ilange  lam  awal,  iku  dadi  lah-hu,  Ian ilange lam akhir, iku dadi hu, lan ilange hu, iku dadi ora ana lapale iya ora ana jamane, ora ana tuduhe, iya  ora  ana  maknane,  iya mung  kari  jumeneng  ing dzatullah, iya jumeneng kalawan dhewe” *).

Selanjutnya jika kita membuka Kitab Mantra-Yoga, di   sana   termuat “Aji   kadigdayan   Kasenapaten”, wasiat   Kangjeng   Panembahan   Senapati   Ingalaga Matararam  tentang  ilmu  kekebalan  terhadap  segala macam  senjata  api.  Untuk  mencapai  tataran  kebal seperti  itu  harus  disertai laku  “nyirik  wohing  dami kinukus” selama 40 hari 40 malam, dengan mantra:

“Salfa  llahu  ‘alaihi  wassalam  bis  ayar-ayar,  akas mimis  kandut,  kita  tobat  rambut,  kita  pasumbon talingan kita, gisig suh, braja ampuh, sira nembaha marang  ingsun,  hining  na’iyat  sagedining,  hining ma’iyat sagedining, hining ma’iyat sagedining” *).

Sebagimana   telah   diuraikan,   mantra-mantra   yang termuat   dalam   naskah-naskah   kuna   di   Keraton tersebar-sebar  di  berbagai  bagian  isi  naskah,  dan umumnya   tertulis   dalam   aksara   Arab.   Penelitian yang tuntas, menurut pendapat saya, perlu dilakukan oleh  para  ahli,  bukan  sekadar  dengan  transliterasi dan translasi ke huruf Latin. Tetapi hendaknya dapat disusun  sedemikian,  sehingga  kita  dapat  menggali dan  memahami  maknanya.  Siapa  tahu  kelak,  isinya bisa    menjadi    sumbangan    dalam    mengukuhkan jatidiri bangsa ke depan.

SERAT CEBOLEK: SEBUAH ILUSTRASI

KARENA  akhir-akhir  ini  banyak  menjadi  wacana dalam  komunitas  Islam,  mungkin  ada  manfaatnya jika  saya  mengulas  barang  sekilas Serat  Cebolek karya    Kiai    Mutamakkin    (yang    tersimpan    di perpustakaan     KHP     Widya     Budaya     Keraton Yogyakarta dengan judul: “Suluk Cebolek Gedhe”). Konon, serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura .

Serat ini  mengisahkan  pertentangan  antara  ajaran Islam “ortodoks” dengan    Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom,  ahli  agama  dari  Kudus,  sernentara  Islam heterodoks   diwakili   Kiai   Mutamakkin   dari   desa Cebolek,      Tuban.      Dikisahkan,      bahwa      Kiai Mutamakkin   telah   mengajarkan   “ilmu   hakikat” kepada  khalayak  ramai,  ajaran  yang  dianggap  sesat oleh  para  ulama.  Ketib  Anom  melaporkan  hal  ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.

Kisah  dalam Serat ini,  tampaknya  lebih  memihak para  ulama  yang  mewakili  ajaran  Islam  ortodoks. Tetapi    sebuah    teks    dari    desa    Kajen, Pati,mengisahkan “serat” yang  berbeda,  di  mana  Kiai Mutamakkin  justru  dipandang  sebagai  pihak  yang benar.  Kisah  Kiai  Mutamakkin  ini  mewakili  pola yang    hampir    “tipikal”    dalam    sejarah    Islam: pertentangan  antara  “ilmu  lahir”  dan  “ilmu  batin”, ilmu  hakikat  dan  ilmu  syari’at,  Islam  ortodoks  dan Islam heterodoks, “serat resmi,’” dan “serat rakyat’. Apakah ketegangan- ketegangan dalam tubuh Islam sekarang  ini  bisa  dilihat,  antara  lain,  melalui  kisah Kiai Mutamakkin ini?

Oleh   Gus   Dur   aliran   Mutamakin   ini   disebutnya sebagai  model  keempat,  yaitu  model  Jawa  yang menyatakan  hubungan  Islam  dengan  kekuasaan,  di mana  memposisikan  Islam  bukan  sebagai  oposisi, tetapi  mengembangkan  kultur  Islam  yang  berbeda altematif)   terhadap   pemahaman   kekuasaan   yang ada.

Sebagai   bahan   banding,   ada   baiknya   jika   kita membuka Serat “Sastra Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari Serat Cebolek, yang  antara  lain  memuat  bait tembang Sinom:

“Pramila  gendhing  yen  bubrah,  gugur  sembahe  mring Widdhi,   Batal   wisesaning   shalat,   tanpa   gawe   ulah gendhing,   Dene   ngran   tembang   gendhing,   tuk   ireng swara  linuhung,  Amuji  asmane  Dhat,  swara  saking  osik wadhi, Osik muiya entaring cipta-surasa “.

Sultan Agung menegaskan” bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama Islam kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh arus syariat. Diperingatkan olehnya, bahwa pedoman yang harns diingat-ingat ialah:

“Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang”.

Jadi   hakikat   dan   syariat   kedua-duanya   penting. Meskipun     demikian,     hakikatlah  yang   harus diutamakan,  sebab  memahami  hakikat  lebih  sukar daripada  melihat  syariat.  Jika  orang  mengutamakan syariat  tetapi  meninggalkan  hakikat,  berarti  sarna

dengan  mengej  ar  kulit  dan  melupakan  isi.  Ibarat orang memakai baju tetapi tak bernyawa. Demikianlah petunjuk Sultan Agung yang membekali kita dalam ibadah.

Dalam  terjemahan  bebas,  ungkapan  di  atas  berarti demikian:

“Jika   syariat   sembahyang   tidak   dituntun   oleh kesucian jiwa, maka batallah shalat seseorang. Dan  tak  ada  perlunya  orang  memelihara  hidup kebatinan, apabila tidak berisi usaha mengagungkan Dhat Allah”.

Petunjuk  Sultan  Agung  itu  ada  persamaannya  dengan kritik Prof Dr. Ahmad Syalabi. Dalam bab yang berjudul .’Mempelajari  raga  tanpa  mempelajari  jiwa”, sarjana-ulama  Mesir  dari  Universitas  Cairo  itu  mengecam  keras ulama-ulama Mesir abad-20, yang secara dangkal melihat semua  segi  kehidupan  beragama  dari  segi  materiilnya saja .

SEBUAH PERENUNGAN

MANTRA  tergolong  dalam  ritual  mistik  kejawen, yang merupakan cara berpikir fllosofis manusia Jawa tentang    hidup,    manusia,    dunia    dan    Tuhan. Sinkretisme, simbolisme dan sufisme dalam budaya spiritual  Jawa  sering  disebut  falsafah  hidup  Jawa, sikap  hidup  yang  bertujuan  mencari  kesempurnan hidup    melalui pangawikan    (ngelmu) sangkan-paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti .

Sri  Susuhunan  Paku  Buwono  V  memberikan  pesan spiritual dalam Serat Centhini, sebagai berikut:

“Aywa lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug,  lawan  sira  aywa  nadhah,  yen  tan  wruha rasanipun,  aywa  nganggo-anggo  siraku,  yen  tan wruh  ranning  busana,  weruh  atakon  tuhu,  bisane tetiron nyata”.

Kutipan  ini  memberikan  wawasan  batin  terhadap sesama, agar berhati- hati dalam menjalankan hidup. Diharap agar tahu betul dari mana dan akan ke mana hidup kita. Dengan kata lain kita harus benar-benar memahami   landasan laku mistik   kejawen,   yaitu ngelmu sangkan-paraning dumadi.

Pesan  serupa  juga  pemah diberikan Sunan  Kalijaga yang   tersimpul   dalam tembang   Dhandhanggula seperti di bawah ini II:

“Urip  iku  ing  donyo  tan  lami,  upamane  jebeng menyang  pasar,  tan  langgeng  neng  pasar  bae,  tan wurung nuli mantuk/ mri wismane sangkane nguni ing mengko aja samar, sangkan-paranipun yen asale sangkan-paran duk ing nguni aja nganti kesasar”.

Pesan tembang di atas menghendaki bahwa hidup di dunia ini tidak lama. Ibarat manusia pergi ke pasar, akan  segera  pulang  ke  rumah  asalnya.  Karena  itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya, agar jangan  sampai  salah  jalan.  Pesan  ini  menunjukkan, bahwa  manusia  hidup  di  dunia  sekadar “mampir ngombe”, karena   suatu   ketika   akan   kembali   ke haribaan    Tuhan,    sebagaimana    halnya    tumpuan sangkan-paraning dumadi.

Bukankah  kedua  pesan  dalam  naskah  kuna  ini  ada relevansinya dengan intro kalimat di awal tulisan ini:

“Sebaik-baik limo adalah Berdoa kepada Allah SWT .”?  Agar  dengan  demikian,  kita  dapat  menangkap makna  terdalam  dari  ungkapan: “Ana-nira,  Ana- Ningsun”, serta  menjauhi  sikap: “Sapa  sira,  Sapa lngsun”.

Jakarta, 2 September 2003

KARATON  NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,

Ttd.

HAMENGKU  BUWONO  X

sumber:mas kumitir