Begitu memasuki Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, sederet tulisan kaligrafis langsung menyergap mata. Bunyinya "Muhammad kang mengku Rasa". Bentuk kaligrafi itu juga tak biasa. Ia dituliskan vertikal, tidak horizontal. Kalimat itu bukan sembarang kalimat. Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, tulisan itu merupakan rajah, mantra penolak bala.
Kesultanan Yogyakarta memang pekat dengan aura magis. Sungguh pun pengaruh Islam telah menembus dinding-dinding istana yang dingin berlumut, toh tradisi pra-Islam tak lantas lenyap. Salah satu yang terus lestari adalah penggunaan mantra.
Mantra amat identik dengan sesuatu yang mistis, gaib, bahkan kerap disebut tidak ilmiah. Walau begitu, misteri mantra dan penggunaannya telah mengundang sejumlah ahli—dalam dan luar negeri—untuk mendiskusikannya dalam pertemuan yang digelar awal September lalu di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Dr. Merle Calvin Ricklefs, ahli mantra dari Universitas Melbourne, Australia, menyebutkan bahwa mantra di Indonesia sudah lama ada dan bersumber dari peradaban sebelum Islam. Ricklefs menyimpulkan mantra erat kaitannya dengan pemikiran bahwa kata-kata tertentu memiliki kekuatan supranatural. Ide seperti ini, menurut Ricklefs, bisa ditemukan di hampir seluruh belahan dunia, tak hanya di Indonesia dan Jawa.
Mantra-mantra dari sastra dan budaya Hindu, menurut Dr. Budya Pradipta (K.R.T. Dr. B. Pradiptonagoro), masuk ke Indonesia paling tidak sejak abad keempat Masehi, pada masa Kerajaan Mulawarman di Kutai, Kalimantan. Ini tak mengherankan. Sebab, dalam ajaran Hindu, mantra diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan. Pengaruh ini terus berlanjut ketika kitab Ramayana dan Mahabarata diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno pada abad kesembilan dan kesepuluh. Perlahan-lahan pengaruh mantra mulai meresap pada kebudayaan masyarakat Jawa.
Pada awalnya, mantra merupakan doa yang bersifat pribadi dan vertikal. Sejalan dengan perubahan zaman, ia berkembang menjadi lebih horizontal-kultural. Sifatnya yang kedua menjadikan mantra digunakan sebagai alat kesaktian (kanuragan) yang agresif, juga alat pertahanan diri (defensif). Pada masa ini berkembang aneka jenis mantra beserta peruntukannya, begitu pula aneka laku (perbuatan) untuk memperoleh mantra dan khasiatnya.
Hasilnya, di lingkungan Keraton Yogyakarta saja, menurut Sri Sultan, mantra tersebar di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, ataupun serat. Umumnya diselipkan dalam isi naskah berbahasa Jawa dengan aksara Arab (huruf pegon). Beberapa pusaka keraton secara langsung bahkan melekat dengan mantra tertentu karena proses pembuatannya. Ini belum termasuk mantra aji-aji yang diajarkan berbagai padepokan dan para guru laku di luar keraton.
Penggunaannya begitu memasyarakat dalam tradisi Jawa. Anak-anak pun sudah akrab dengan aneka jenis mantra. Semisal ketika sedang asyik bermain layang-layang lalu angin mendadak berhenti bertiup dan layang-layang menukik ke bumi. Serempak dan berulang-ulang mereka mendendangkan syair:
Cempe-cempe undangna barat gedhe tak opahi duduh tape,
Campa-cempe undangna barat dawa tak opahi duduh kelapa.
(Anak kambing-anak kambing, panggilkanlah angin besar, aku beri hadiah air tapai. Cepat-cepat panggilkan angin kencang, aku beri hadiah air kelapa.)
Mantra pun berdiversifikasi dalam jenis dan kegunaannya. Ada mantra untuk memperoleh kesaktian tertentu, mendapatkan kekayaan, pangkat, jabatan, kewibawaan, dan sebagainya. Setelah Islam masuk, menurut Budya, tradisi membaca mantra tetap dilanjutkan. Ia bertransformasi menjadi doa-doa, jampi, dan banyak menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Arab.
Simak hasil penelitian Dr. Christiana W. Perdana terhadap berbagai mantra yang ada di Surakarta. Ia menemukan banyak mantra berbahasa Jawa yang diawali dengan Bismillahirahmanirahim, kalimat yang dipakai umat Islam sebelum melakukan sesuatu. Rupanya, mantra, menurut Budya, memiliki posisi—dalam struktur hidup manusia—sebagai alat atau metode untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni memayu hayuning bawono, mencapai keselarasan antara yang lahir dan yang batin.
Penggunaan mantra pun, menurut Budya, akhirnya tak melulu untuk sesuatu yang bersifat individual. Menurut dia, mantra juga dipakai sebagai alat sosial, bahkan politik. Ia menyebut contoh penggunaan mantra-mantra berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan Jawa Baru yang terdapat dalam upacara adat Jawa—semisal ruwatan—serta dalam lakon-lakon wayang. Ruwatan dan pergelaran wayang punya arti sosial cukup tinggi dalam tradisi Jawa.
Demikian pula pembacaan mantra atau doa bersama alias ista-gosthi (bahasa Sanskerta) ataupun istighotsah (bahasa Arab). Menurut Budya, dua hal ini merupakan tradisi—baik di India maupun di Indonesia—yang dipercaya akan membawa efek positif bagi masyarakat. Untuk Indonesia, kegiatan istighotsah belakangan ini marak digunakan kalangan politikus untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul.
Tak hanya itu. Menurut Ricklefs, raja-raja Jawa telah lama menggunakan mantra untuk tujuan politik. "Mereka menggunakan segala jenis kekuatan, termasuk kekuatan mantra yang supranatural, untuk tujuan politik," ujarnya. Pernyataan Ricklefs ini didasari fakta bahwa "dalam beberapa hal, raja-raja Jawa percaya bahwa mereka bisa menggunakan kekuatan dari dunia yang tak terlihat untuk mempertajam realitas-realitas politik yang ada". Salah satu mantra jenis ini, menurut Budya, adalah Sumpah Palapa-nya Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.
Penuturan dua ahli itu dibenarkan Dr. Damardjati Supadjar, penasihat spiritual Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menurut dia, mantra bagi raja-raja Mataram digunakan untuk menyambungkan antara "yang hulu dan yang hilir", antara "lahir dan batin", antara "pemimpin dan yang dipimpin". Menurut Damardjati, penggunaan mantra di keraton adalah agar sultan bisa menyangga buana—hamangku buwono.
Hamangku buwono, menurut Damardjati, adalah cita-cita yang harus dicapai dan menjadi tekad dan daya para sultan. Caranya dengan menjadi pemenang bagi diri sendiri—senapati ing ngalaga—-agar pemimpin dan rakyatnya menjadi satu. Kalau sudah begini, tercapailah fungsi sultan dan rakyatnya sebagai khalifatullah, wakil Allah di muka bumi. "Untuk menjadi tiang penyangga itu artinya untuk mempersatukan. Saya akan menggugat beliau agar tidak memakai nama Hamangku Buwono kalau tidak bisa menyelesaikan segala urusan," kata Damardjati. Di sini mantra diyakini punya peran dalam melancarkan segala urusan.
Tapi, bisakah ia dipakai menjawab persoalan masyarakat modern? Menurut Ricklefs, itu amat bergantung pada definisi modern itu sendiri. Kalau itu bermakna sebuah masyarakat yang tak lagi percaya pada hal-hal berbau supernatural, tentu mantra hanya menjadi celoteh omong kosong yang tak bisa dipercaya. Kenyataannya, bagi kebanyakan orang, penggunaan mantra di era sekarang masih dianggap relevan. "Namun, tidak murni melafalkan atau mencari laku mantra, tapi beralih pada ramalan astrologi, jimat, benda-benda bertuah, dan hal lain yang dianggap lebih modern," ujar Ricklefs.
Sedangkan Budya memberikan contoh yang lebih simpel. "Sampai sekarang, buku-buku yang berisi berbagai mantra dan doa selalu diterbitkan dan laku dijual. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mantra masih populer," katanya. Dan harapannya adalah untuk menggapai tujuan-tujuan hidup yang diinginkan. Sebab, tujuan hidup ini harus dicapai. Sesuatu yang telah dituturkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Mataram beratus tahun lalu.
"Urip iku pindha pesate warastra saka gandewa kang pinenthang. Lamun mleset saka lesane mbilaeni."
(Hidup ibarat anak panah yang melesat dari busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran, bisa berbahaya.)
oleh Agus Hidayat, Syaiful Amin (Yogyakarta)
sumber: majalah.tempointeraktif.com