Mantra Jawa Suwuk

Spiritualitas Suwuk (Mantra Jawa)
Bagi sahabat Indonesia yang tinggal di Jawa mungkin tidak asing dengan istilah suwuk. Akan tetapi belum tentu juga masyarakat Jawa-khususnya generasi sekarang yang memahami hal tersebut. Karena pada dasarnya generasi Jawa sekarang ini hampir tidak mengenal khazanah kebudayaan Jawa itu sendiri.

Kembali pada “suwuk”, apa itu suwuk? Suwuk adalah sebuah mantra Jawa yang di lafalkan atau diucapkan untuk memberikan pertolongan atau car menolong bayi yang sdang rewel (menangis terus). Selain itu juga digunakan untuk menyapih (sapih) bayi ritual yang di lakukan agar sang bayi berhenti dari menyusu pada ibunya.

Mantra Menuju Surga

Sammirnalakhairinfatrukilbagha….. 
(Mantra Menuju Surga)
 
“Mantra” dalam judul tersebut mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang, meskipun sebenarnya “mantra” itu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat kita, terutama orang Jawa.

Mengapa penulis mengatakan bahwa “mantra” itu sangat dekat? Karena kalau kalimat itu diurai maka akan menjadi: sammir, nalakhairin, fatruk, bagha…kalau diperjelas lagi dengan bahasa jawa menjadi semar, nala gareng, petruk, dan bagong…

Artian Mantra

Mantra berasal dari bahasa Sanskerta yaitu MAN yang memiliki arti PIKIRAN dan TRA yang artinya PEMBEBASAN. Jadi Mantra adalah kegiatan membebaskan pikiran. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

Mantra jika ditinjau dari segi istilah bisa memiliki arti bunyi, kata, atau kalimat yang diucapkan, dibisikkan, atau dilantunkan dengan cara tertentu untuk tujuan tertentu pula. Mantra diyakini mempunyai kekuatan, sebagai sarana permohonan kepada Tuhan, dan bermanfaat untuk bermacam-macam tujuan tertentu dari para perapalnya.

Menyibak Rahasia Mantra

Menyibak Rahasia Mantra

Begitu memasuki Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, sederet tulisan kaligrafis langsung menyergap mata. Bunyinya "Muhammad kang mengku Rasa". Bentuk kaligrafi itu juga tak biasa. Ia dituliskan vertikal, tidak horizontal. Kalimat itu bukan sembarang kalimat. Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, tulisan itu merupakan rajah, mantra penolak bala.

Kesultanan Yogyakarta memang pekat dengan aura magis. Sungguh pun pengaruh Islam telah menembus dinding-dinding istana yang dingin berlumut, toh tradisi pra-Islam tak lantas lenyap. Salah satu yang terus lestari adalah penggunaan mantra.

Mantra amat identik dengan sesuatu yang mistis, gaib, bahkan kerap disebut tidak ilmiah. Walau begitu, misteri mantra dan penggunaannya telah mengundang sejumlah ahli—dalam dan luar negeri—untuk mendiskusikannya dalam pertemuan yang digelar awal September lalu di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Dr. Merle Calvin Ricklefs, ahli mantra dari Universitas Melbourne, Australia, menyebutkan bahwa mantra di Indonesia sudah lama ada dan bersumber dari peradaban sebelum Islam. Ricklefs menyimpulkan mantra erat kaitannya dengan pemikiran bahwa kata-kata tertentu memiliki kekuatan supranatural. Ide seperti ini, menurut Ricklefs, bisa ditemukan di hampir seluruh belahan dunia, tak hanya di Indonesia dan Jawa.

Mantra-mantra dari sastra dan budaya Hindu, menurut Dr. Budya Pradipta (K.R.T. Dr. B. Pradiptonagoro), masuk ke Indonesia paling tidak sejak abad keempat Masehi, pada masa Kerajaan Mulawarman di Kutai, Kalimantan. Ini tak mengherankan. Sebab, dalam ajaran Hindu, mantra diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan. Pengaruh ini terus berlanjut ketika kitab Ramayana dan Mahabarata diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno pada abad kesembilan dan kesepuluh. Perlahan-lahan pengaruh mantra mulai meresap pada kebudayaan masyarakat Jawa.

Pada awalnya, mantra merupakan doa yang bersifat pribadi dan vertikal. Sejalan dengan perubahan zaman, ia berkembang menjadi lebih horizontal-kultural. Sifatnya yang kedua menjadikan mantra digunakan sebagai alat kesaktian (kanuragan) yang agresif, juga alat pertahanan diri (defensif). Pada masa ini berkembang aneka jenis mantra beserta peruntukannya, begitu pula aneka laku (perbuatan) untuk memperoleh mantra dan khasiatnya.

Hasilnya, di lingkungan Keraton Yogyakarta saja, menurut Sri Sultan, mantra tersebar di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, ataupun serat. Umumnya diselipkan dalam isi naskah berbahasa Jawa dengan aksara Arab (huruf pegon). Beberapa pusaka keraton secara langsung bahkan melekat dengan mantra tertentu karena proses pembuatannya. Ini belum termasuk mantra aji-aji yang diajarkan berbagai padepokan dan para guru laku di luar keraton.

Penggunaannya begitu memasyarakat dalam tradisi Jawa. Anak-anak pun sudah akrab dengan aneka jenis mantra. Semisal ketika sedang asyik bermain layang-layang lalu angin mendadak berhenti bertiup dan layang-layang menukik ke bumi. Serempak dan berulang-ulang mereka mendendangkan syair:

Cempe-cempe undangna barat gedhe tak opahi duduh tape,
Campa-cempe undangna barat dawa tak opahi duduh kelapa.

(Anak kambing-anak kambing, panggilkanlah angin besar, aku beri hadiah air tapai. Cepat-cepat panggilkan angin kencang, aku beri hadiah air kelapa.)

Mantra pun berdiversifikasi dalam jenis dan kegunaannya. Ada mantra untuk memperoleh kesaktian tertentu, mendapatkan kekayaan, pangkat, jabatan, kewibawaan, dan sebagainya. Setelah Islam masuk, menurut Budya, tradisi membaca mantra tetap dilanjutkan. Ia bertransformasi menjadi doa-doa, jampi, dan banyak menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Arab.

Simak hasil penelitian Dr. Christiana W. Perdana terhadap berbagai mantra yang ada di Surakarta. Ia menemukan banyak mantra berbahasa Jawa yang diawali dengan Bismillahirahmanirahim, kalimat yang dipakai umat Islam sebelum melakukan sesuatu. Rupanya, mantra, menurut Budya, memiliki posisi—dalam struktur hidup manusia—sebagai alat atau metode untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni memayu hayuning bawono, mencapai keselarasan antara yang lahir dan yang batin.

Penggunaan mantra pun, menurut Budya, akhirnya tak melulu untuk sesuatu yang bersifat individual. Menurut dia, mantra juga dipakai sebagai alat sosial, bahkan politik. Ia menyebut contoh penggunaan mantra-mantra berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan Jawa Baru yang terdapat dalam upacara adat Jawa—semisal ruwatan—serta dalam lakon-lakon wayang. Ruwatan dan pergelaran wayang punya arti sosial cukup tinggi dalam tradisi Jawa.

Demikian pula pembacaan mantra atau doa bersama alias ista-gosthi (bahasa Sanskerta) ataupun istighotsah (bahasa Arab). Menurut Budya, dua hal ini merupakan tradisi—baik di India maupun di Indonesia—yang dipercaya akan membawa efek positif bagi masyarakat. Untuk Indonesia, kegiatan istighotsah belakangan ini marak digunakan kalangan politikus untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul.

Tak hanya itu. Menurut Ricklefs, raja-raja Jawa telah lama menggunakan mantra untuk tujuan politik. "Mereka menggunakan segala jenis kekuatan, termasuk kekuatan mantra yang supranatural, untuk tujuan politik," ujarnya. Pernyataan Ricklefs ini didasari fakta bahwa "dalam beberapa hal, raja-raja Jawa percaya bahwa mereka bisa menggunakan kekuatan dari dunia yang tak terlihat untuk mempertajam realitas-realitas politik yang ada". Salah satu mantra jenis ini, menurut Budya, adalah Sumpah Palapa-nya Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.

Penuturan dua ahli itu dibenarkan Dr. Damardjati Supadjar, penasihat spiritual Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menurut dia, mantra bagi raja-raja Mataram digunakan untuk menyambungkan antara "yang hulu dan yang hilir", antara "lahir dan batin", antara "pemimpin dan yang dipimpin". Menurut Damardjati, penggunaan mantra di keraton adalah agar sultan bisa menyangga buana—hamangku buwono.

Hamangku buwono, menurut Damardjati, adalah cita-cita yang harus dicapai dan menjadi tekad dan daya para sultan. Caranya dengan menjadi pemenang bagi diri sendiri—senapati ing ngalaga—-agar pemimpin dan rakyatnya menjadi satu. Kalau sudah begini, tercapailah fungsi sultan dan rakyatnya sebagai khalifatullah, wakil Allah di muka bumi. "Untuk menjadi tiang penyangga itu artinya untuk mempersatukan. Saya akan menggugat beliau agar tidak memakai nama Hamangku Buwono kalau tidak bisa menyelesaikan segala urusan," kata Damardjati. Di sini mantra diyakini punya peran dalam melancarkan segala urusan.

Tapi, bisakah ia dipakai menjawab persoalan masyarakat modern? Menurut Ricklefs, itu amat bergantung pada definisi modern itu sendiri. Kalau itu bermakna sebuah masyarakat yang tak lagi percaya pada hal-hal berbau supernatural, tentu mantra hanya menjadi celoteh omong kosong yang tak bisa dipercaya. Kenyataannya, bagi kebanyakan orang, penggunaan mantra di era sekarang masih dianggap relevan. "Namun, tidak murni melafalkan atau mencari laku mantra, tapi beralih pada ramalan astrologi, jimat, benda-benda bertuah, dan hal lain yang dianggap lebih modern," ujar Ricklefs.

Sedangkan Budya memberikan contoh yang lebih simpel. "Sampai sekarang, buku-buku yang berisi berbagai mantra dan doa selalu diterbitkan dan laku dijual. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mantra masih populer," katanya. Dan harapannya adalah untuk menggapai tujuan-tujuan hidup yang diinginkan. Sebab, tujuan hidup ini harus dicapai. Sesuatu yang telah dituturkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Mataram beratus tahun lalu.

"Urip iku pindha pesate warastra saka gandewa kang pinenthang. Lamun mleset saka lesane mbilaeni."
(Hidup ibarat anak panah yang melesat dari busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran, bisa berbahaya.)

oleh Agus Hidayat, Syaiful Amin (Yogyakarta)

sumber: majalah.tempointeraktif.com

Hukum Ruqyah (Mantra atau Jampi) Dalam Islam

Jampi-jampi (ruqyah) jika berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu adalah perkara yang boleh dan disyari’atkan dalam Islam. Adapun apabila ruqyah (jampi) yang biasa kita sebut dengan “mantra-mantra” yang berisi doa kepada selain Allah, maka ini adalah ruqyah yang terlarang. Demikian pula, bila ruqyah-nya berasal dari kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya, maka ini juga terlarang, sebab dikhawatirkan di dalamnya terdapat kata-kata kafir atau syirik. 


Ruqyah, adalah bacaan-bacaan yang dibacakan dengan niat untuk kesembuhan atau tolak bala atau semisalnya, itulah yang disebut dalam bahasa kita dengan jampi-jampi. Dalam hadits-hadits, ruqyah ada dua macam. Salah satunya yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebut dalam hadits yang telah lewat yaitu yang syirik, yaitu yang terdapat padanya permohonan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang kedua adalah ruqyah yang syar’i, yang dibolehkan bahkan dianjurkan oleh Islam, yaitu yang terkumpul padanya tiga syarat:

1. Dengan kalamullah, ayat-ayat Al-Qur’an, atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya.
2. Dengan bahasa Arab dan yang diketahui maknanya.
3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka ruqyah yang tidak terpenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut maka tidak boleh dan haram. Demikianlah hukum mantra-mantra. Walaupun terkadang disisipi ayat-ayat Al-Qur’an, namun faktanya juga dicampur dengan bacaan-bacaan lain yang jelas haram, atau yang tidak diketahui maknanya yang dikhawatirkan mengandung doa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, penghinaan terhadap Islam, atau perkara-perkara haram yang lain.
‘RUQIYAH’, dalam prakteknya adalah upaya untuk mengusir jin dan segala macam gangguannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem. Bagi jin yang mengganggu dan jahat, bacaan Al-Quran –terutama pada ayat tertentu- yang dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang shalil dan bersih imannya, akan sangat ditakuti. Mereka akan merasakan panas yang membakar dan pergi.

Diantaranya yang paling sering digunakan adalah ayat kursi, beberapa penggalan ayat dalaة nsurat Al-Baqarah (tiga ayat terakhir), Surat Ali Imron, Surat Yasin, Surat Al-Jin, surat Al-Falaq dan Surat An-Naas. Selain itu masih banyak ayat dan doa-doa lainnya yang diriwayatkan kepada kita untuk dibacakan kepada orang yang kesurupan.

Tetapi bila orang itu menggunakan cara-cara yang menyimpang, apalagi dengan melanggar syariat dan aqidah, tidak boleh dilakukan. Karena tujuan jin ketika mengganggu manusia tidak lain adalah untuk menyeret manusia kepada pelanggaran dan syirik kepada Allah.

Misalnya, bila orang itu bilang bahwa jin itu minta sesajen, minta kembang, atau dikorbankan hewan sembelihan sebagai tumbal, itulah syirik yang sejati. Atau apapun yang secara syariah bertentang dengan hukum-hukum Allah.

Pada dasarnya bila dibacakan Ruqiyah, jin itu sangat takut dan tidak berani menawar-nawar dengan minta ini itu. Karena pembacaan ayat-aayt Al-quran itu membuatnya kesakitan yang sangat, sehingga dalam proses Ruqyah, tidak ada permintaan dari jin kecuali harus pergi dan berhenti dari menganggu manusia.

Ruqyah sendiri adalah salah satu cara dari banyak jalan untuk mengusir gangguan setan dan sihir. Abdul Khalik Al-Atthar dalam bukunya “menolak dan membentengi diri dari sihir” menyebutkan bahwa untuk bisa terbebas dari pengaruh jahat itu, bisa dilakukan beberapa cara, antara lain:

1. Metode Istinthaq
Methode istinthaq adalah mengajak bicara setan yang ada di dalam tubuh orang yang terkena sihir. Dan menanyakan kepadanya tentang namanya, nama tukang sihir yang memanfaatkan jasanya, nama orang yang membebani tukang sihir untuk melakukan sihir, menanyakan tempat penyimpanan sihir serta barang-barang yang digunakan untuk menyihir. Meskipun demikian, kita dituntut untuk tetap waspada dan tidak mempercayai sepenuhnya akan apa yang diucapkan oleh setan yang ada di dalam tubuh pasien, sebab bisa jadi setan berbohong dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah dan memecah belah hubungan baik diantara sesama manusia.

2. Metode Istilham
Melalui Istilham adalah memohon ilham dan petunjuk yang benar dari Allah swt) agar Ia berkenan memberikan isyarat lewat mimpi, sehingga sihir yang menimpa seseorang bisa terdeteksi dan kemudian dilenyapkan.

3. Metode Tahshin
Methode Tahsin adalah pembentengan, yaitu dengan membentengi dan melindungi korban sihir dengan menggunakan bacaan Al-Qur’an, zikir dan ibadah-ibadah tertentu.

Syaikh bin Baaz mengatakan bahwa cara yang paling efektif dalam mengobati pengaruh sihir adalah dengan mengerahkan kemampuan untuk mengetahui tempat sihir, misalnya di tanah, gunung dan lain-lain. Dan bisa diketahui lalu diambil, maka lenyaplah sihir itu.

Pengobatan sihir yang diharamkan adalah menyingkirkan sihir dengan sihir juga, ini sesuai dengan perkataan Rasul yang melarang keras seorang muslim pergi ke rumah dukun dan tukang sihir untuk meminta bantuan kepadanya.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mengeluarkan sihir dan memusnahkannya adalah pengobatan yang paling efektif, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw bahwasanya beliau memohon kepada Allah untuk dapat melakukan hal itu. Allah memberi petunjuk kepada beliau, sehingga beliau pernah mengeluarkan sihir dari sebuah sumur.

4.Hijamah
Cara yang lainnya adalah dengan hijamah (berbekam) pada anggota tubuh yang terasa sakit akibat pengaruh sihir, karena sihir bisa berpengaruh pada tubuh, dan melemahkannya.

5.Obat-obatan
Pengobatan sihir dapat juga dilakukan dengan menggunakan obat-obatan yang mubah (dibolehkan) seperti dengan memberi kurma ‘Ajwah kepada si penderita.

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad dari bapaknya bahwasanya Rasulullah saw bersabda,“Barangsiapa setiap pagi hari memakan kurma ‘Ajwah maka tidak akan membahayakan dirinya baik racun maupun sihir pada hari itu hingga malam hari.” (HR. Bukhari)

Tentang keistimewaan kurma ini Imam Al-Khattabi berkata: Kurma ‘Ajwah memiliki hasiat dan manfaat yaitu bisa menjadi penangkal racun dan sihir karena berkat do’a Rasulullah saw terhadap kurma Madinah, dan bukan karena keistimewaan kurma itu sendiri.

6. Ruqyah
Cara yang lainnya yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan sihir adalah dengan membacakan ruqyah syar’iyyah (pengobatan melaui bacaan Al-Qur’an, zikir dan do’a).

Imam Ibnu Qayyim mengatakan: Diantara obat yang paling mujarab untuk melawan sihir akibat pengaruh jahat setan adalah dengan pengobatan syar’i yaitu dengan zikir, do’a dan bacaan-bacaan yang bersumber dari Al-Qur’an. Jiwa seseorang apabila dipenuhi dengan zikir, wirid dan mensucikan nama Allah niscaya akan terhalangi dari pengaruh sihir. Orang yang terkena sihir bisa sembuh dengan membaca ruqyah sendiri atau dari orang lain dengan ditiupkan pada dada atau tubuh yang sakit sambil membaca zikir dan do’a.

Berikut ini adalah bacaan-bacaan yang diyakini mampu menolak dan menghilangkan bahaya sihir, diantaranya:
A. Surat Al-Fatihah.
B. Surat Al-Baqarah, khususnya ayat-ayat 1-5, 254-257 dan 284-286.
C. Surat Al-Imran khususnya ayat 1-9 dan 18-19
D. Surat An-Nisa khususnya ayat 115-121
E. Surat Al-A’raf khususnya ayat 54-55.
F. Surat Al-Mu’minun khususnya ayat 115-118.
G. Surat Yasin khususnya ayat 1-12.
H. Surat As-Shaffat khususnya ayat 1-10.
I. Surat Ghafir khususnya ayat 1-3, dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Sedangkan do’a-do’a yang dianjurkan diantaranya:

اللهم رب الناس اذهب البأس اشف أنت الشافى لا شافي إلا أنت شفاء لا يغادر سقما.

“Ya Allah, Rabb bagi semua manusia, hilangkanlah rasa sakit, berilah kesembuhan, Engkau zat yang menyembuhkan tiada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, kesembuhan yang tiada menimbulkan sakit sedikitpun.”

بسم الله أرقيك من كل شيء يؤذيك ومن شر كل نفس أو عين حاسد الله يشفيك بسم الله أرقيك.

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari kejahatan setiap jiwa atau pandangan orang yang dengki, Allah yang memberi kesembuhan padamu, dengan nama Allah saya meruqyahmu.”

أعيذك بكلمات الله التامة من شر ما خلق.

“Saya mohon untuk kamu perlindungan kepada Allah dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakan”

Bin Baz mengatakan: Hendaklah seorang muslim meminta kesembuhan hanya kepada Allah dari segala kejahatan dan bencana, dengan membaca do’a-do’a berikut ini:

بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم.

“Dengan menyebut nama Allah yang dengan keagungan nama-Nya itu menjadikan sesuatu tidak berbahaya baik yang ada di langit atau di bumi, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Dibaca 3x pada pagi dan sore hari)

Dan dianjurkan pula untuk membaca Ayat Kursy ketika hendak tidur dan sehabis salat fardhu, disamping membaca surat Al-Falaq, Al-Nas dan Al-Ikhlash setiap selesai melakukan salat subuh dan salat maghrib serta menjelang tidur.

Seluruh cara di atas hanyalah sekedar do’a dan usaha, sumber kesembuhan hanyalah dari Allah semata, Dialah yang Maha mampu atas segala sesuatu dan di tangan-Nya segala obat dan penyakit, dan segala sesuatu bisa terjadi berdasarkan ketentuan dan takdir Allah swt.

Nabi saw. Bersabda:Dan berdasarkan penjelasan ulama, maka pengobatan Ruqyah Syar‘iyah diperbolehkan dengan kriteria sbb: 


A. Bacaan rukyah berupa ayat-ayat Alqur‘an dan Hadits dari Rasulullah saw.

B. Do‘a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.

C. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.

D. Tidak isti‘anah dengan jin ( atau yang lainnya selain Allah).

E. Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.

F. Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari‘ah.

G.Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.

Pada dasarnya membantu pengobatan dengan ruqyah adalah amal tathowu‘i (sukarela) yang dibolehkan menerima hadiah dan bukan kasbul maisyah (mata pencaharian rutin). Wallahu a‘lam


Metoda Rukyah
Metoda Rukyah dan penyembuhan orang yang terkena Gangguan Ghaib.
perlu diketahui rukyah itu sendiri dalam bahasa yang berarti jampi-jampi atau dalam Bahasa jawa suwuk, dalam hal ini saya babar mengenai Ruqyah syariah, semua orang pasti bisa melakukan, asal mempunyai Tauhid, tidak Harus Orang yang alim, atau selalu mendekatkan diri pada Allah, insyallah ini tata cara yang agak ga merepotkan

1.langkah pertama yang dilakukan anda(perukyah)dan pasien haruslah berwudhu Dahulu
2.pakailah pakaian yang menutup aurat, kalo perempuan memakai Rukuh
3.pegang punggung atau kepala pasien,usahakan jangan sentuh kulit bila Non Muhrim, sentuh bagian punggung atau kepala yang terlapisi oleh kain Rukuh, bila perlu mengenakan sapu tangan
4. Awali dengan bersama-sama dengan Bacaan ta'awudz
(A'udzubillahiminasyaitonirrojim) dan shalawat nabi(Allahuma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad)
5. Anda (peruqyah) sambil memegang pasien(punggung atau kepala) pasrah, Yakinlah bahwa Allah yang menyembuhkan, kita ga bisa apa-apa cuman Allah yang berkehendak,
6, Lanjutkan baca
- Bissmillahilladzi La yadluru Ma'asmihi syai'un fil 'ardhi wala fissama'i wahuwas sami'ul Aliim 3x
- audzubikalimatilahitammati min syarri ma Kholaq 3x
- audzubikalimatilahitammah min ghodhobihi wa yuqobih wa min syarri ma Ajidu wa Uhadzir 3x
- bissmilahi 3x audzubi 'izatillah wa biqudratihi min syarri ma ajidu wa uhadzir 7x
- Qum biidznillahi ta'ala 7/21x sambil memegang kepalanya(khusus bila ada orang kena pelet atau terkena sihir pandangan ghaib)

- al-fatihah
- al-ikhlas3x
- al-falaq 3x
- an-nas 3x
- as-shaffat ayat 1-10 1/3/7x(tergantung parah kondisi Pasienya)
bagi yang belum tahu bacaan as-shafat 1-10 ini bacaanya

Bismillahir Rahmanir Rahim

1.Wa saffati saffa
2.Fazzajirati zajran
3.Fattaliyati zikran
4.Inna ilahakum lawahid
5.Rabbus samawati wal ardi wa ma bainahuma wa rabbul masyariq
6.Inna zayyan nassama addunya bizinatinil kawakib
7.Wa hifzam min kulli syaitanim marid
8.La yassammauna ilal mala ilala wa yuqzafuna min kulli janib
9.Duhuraw wa lahum azabuw wasib

Ayat terakhir ini paling mujarab bagi jin yang sangat membandel, atau jin yang tingkat atas. 

salam sukses.

Hakekat Mantra

Mantra adalah kalimat-kalimat yang diyakini bisa menghasilkan metaenergi jika diucapkan oleh orang yang menguasainya. Yang dimaksud menguasi mantra adalah mengetahui cara dan sudah memenuhi syarat untuk menggunakan mantra tersebut. Setiap Ilmu Spiritual memiliki mantra yang arti kalimatnya sesuai dengan kegunaan ilmu tersebut. Asal mula mantra umumnya diperoleh dari ilham atau diciptakan oleh seorang guru spiritual yang mumpuni.

Dipandang dari tujuan permohonan, mantra ada 2 jenis. Pertama, mantra yang sebetulnya adalah doa permohonan kepada Tuhan. Kedua, mantra yang berupa kalimat-kalimat untuk menghadirkan atau meminta bantuan kepada arwah leluhur atau jin. Tentu saja mantra jenis kedua ini tidak kami gunakan karena haram menurut hukum semua agama.

Bagaimana Menyikapi Mantra ?

Tidak perlu berbelit-belit dalam menyikapi mantra. Tidak perlu meng-haram-kan dengan dalil yang “ditekuk-tekuk” sesuka hati. Sebetulnya mantra tidak punya kekuatan apa-apa. Hal ini terbukti, misalnya ketika mantra ilmu kebal dibaca anak kecil yang tidak mengerti tujuan membaca mantra itu, ternyata mantra tidak punya efek apapun kepada anak kecil tersebut. Mantra tidak berbeda dengan doa yang merupakan sarana untuk memohon kepada Tuhan. Mengenai kemampuan luar biasa yang bisa ditimbulkan setelah membaca mantra, tentunya terjadi atas kehendak Tuhan.

Setiap orang yang beragama Islam yakin bahwa surat Al-Fatihah bisa digunakan untuk mengobati segala macam penyakit. Seorang muslim yang tidak mempercayai hal itu dikatakan tidak beriman karena Al-Quran dan Hadist mengatakan bahwa ayat suci Al-Quran memang obat bagi segala penyakit. Meskipun tak satupun yang meragukan Al-Fatihah, tapi kenyataannya tidak semua orang bisa mengobati dengan surat Al-Fatihah. Hanya orang yang mengetahui rahasianya, memenuhi syarat dan mendapat pertolongan dari Allah-lah yang bisa mengobati dengan Al-Fatihah.

Meskipun sebagian besar orang islam belum bisa menggunakan Al-Fatihah sebagai obat segalapenyakit, tapi tak satupun dari mereka yang berani meremehkan Al-Fatihah, apalagi mengatakan bahwa Al-Fatihah tidak manjur. Justru mereka menyalahkan diri sendiri karena memang dirinya belum ahli mengobati dengan Al-Fatihah.

Mantra tidaklah sepadan jika disandingkan dengan Al-Fatihah, tapi hendaknya seperti inilah kita menyikapi mantra yang hakikatnya hanya perantara untuk memohon pertolongan Tuhan. Namun jika ada yang meng-haram-kan membaca mantra ya silakan saja, keyakinan kan tidak bisa dipaksakan.

Bagi kami, mantra tak ubahnya doa-doa khusus. Contoh dalam islam, ada doa-doa yang diajarkan para ulama untuk keperluan-keperluan khusus seperti kerezekian, menyembuhkan, menangkal wabah, mengusir jin pengganggu dan sebagainya. Bedanya, mantra yang kami ajarkan lebih mudah dipahami karena mengunakan bahasa daerah, sedikit bahasa arab dan bahasa indonesia yang jelas maknanya. Sedangkan isi dari mantra adalah permohonan kepada Tuhan untuk suatu keperluan khusus.

sumber:yusni67.blog.friendster.com

Mantra Dalam Tradisi Melayu

Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001).

Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah /jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru /dan /tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair.

Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan /bomoh /(dukun). Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu :
(1), mantra untuk pengobatan;
(2), mantra untuk ?pakaian? atau pelindung diri;
(3), mantra untuk pekerjaan; dan
(4), mantra adat-istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).

Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami.

Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya.

Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun.

Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka.

Mantra Tradisi Sastra Lisan Melayu
Mantra merupakan salah satu khazanah kebudayaan masyarakat Melayu yang diwariskan secara turun temurun. Berkaitan erat dengan pemikiran, kepercayaan dan corak hidup masyarakat pengamalnya. Namun minimnya interaksi mereka pada alam, menyebabkan mantra semakin tersisihkan dari pola hidup mereka.

Menurut Dosen Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, Martono, suku melayu sangat kaya dengan karya sastra. Ini sebagai bentuk ekspresi kehidupan masyarakat Melayu dimasa lampau yang diwariskan secara turun temurun. Sehingga dapat menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri

Kesusastraan Melayu hidup dan berkembang di Kalimantan Barat mengalami periode penciptaan yang saling mempengaruhi antar satu periode dengan periode lain. Sastra lisan, bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan bahasa sebagai media utama.

Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi, serapah, tawar, sembur, cuca (cerca), puja, seru dan tangkal.

Tak hanya itu, mantra memperlihatkan juga jejak peradaban yang mempengaruhinya. Sebelum Islam berkembang di negara Indonesia tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Dimana, budaya melayu merupakan perpaduan antara islam budaya lokal yang terlebih dahulu dipengaruhi oleh Hindu – Budha.

Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan seorang ibu kepada anaknya, tukang cerita pada pendengarnya, guru pada muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia : 2001, Mantra diartikan sebagai susunan kata berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib lain.

Mantra Dan Penggunaan
Mantra adalah suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan, menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa), sugestif (anjuran, saran, pengaruh dan sebagainya yang dapat menggerakkan hati orang dan sebagainya), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret.

Menurut Peneliti Kebudayaan Melayu Kalimantan Barat, Hemansyah, penggunaan mantra lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan dukun karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan tertentu. Seperti untuk pengobatan, pelindung diri, ataupun untuk melakukan suatu pekerjaan.

Bentuk Mantra ialah puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. “Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang dibaca, ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya,” ujar Dosen STAIN Pontianak dan mengajar mata kuliah pendidikan Agama Islam di Universitas Tanjungpura pontianak.

Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat melayu, berkaitan dengan pola hidup. Secara khusus menurut Hermansyah, tema yang muncul dalam mantra serta hal yang mengikutinya dapat dibagi menjadi tiga yaitu kepercayaan/iman, syari’ah/ibadah dan akhlak.

Kepercayaan / Iman
Iman melibatkan pengakuan, pengucapan dan perbuatan yang merupakan salah satu pilar utama sejarah islam. Mantra ini diakhiri dengan teks “berkat doa la ilaha illallah muhammadarrasulullah’. Menunjukkan kepercayaan bahwa tidak akan memiliki kekuatan apa-apa jika tidak mendapatkan izin dari Allah. Dapatlah di contohkan pada mantra ini.

Tawar Racun
"Summa kana innama balit ke ia
Bukan ku balit dibalit Allah
Bukan kuasaku kuasa Allah
Allah memakan hu’ menelan
Rampang jatuh ke laut baharullah
Berkat do’a la ilaha illallah
Berkat muhammadarrasullullah"
(Sumber: Kahar, Embau)

Syariah/Ibadah
Ibadah merupakan manifestasi dari pengakuan iman kepada Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Untuk di Kalimantan Barat sendiri, penuturan Hermansyah tidak banyak nilai ibadah yang terdapat dalam mantra melayu. Misalnya mantra berikut menurut pengamalnya hanya akan berjaya jika diamalkan selepas shalat wajib :

Untuk Keselamatan Badan
"Jibril di kanan
Mikail di kiri
Israfil di belakang
Izrail di muka
Allah pelindungku
Binasa Allah Binasa Aku
Tidak Binasa Allah Tidak Binasa Aku"
(Sumber: Yati, Pontianak)

Akhlak
Konsep akhlak dalam islam, tidak hanya dibatasi oleh sopan santun antar sesama manusia, melainkan juga berkaitan dengan sikap batin. Agak banyak mantra Melayu yang berisi konsep akhlak, terutama yang berkaitan dengan kasih sayang. Misalnya seseorang yang mengamalkannya berharap tidak terjadi perkelahian jika berjumpa dengan orang yang tidak menyenanginya. Dimaksudkan agar semula memusuhi berubah sebaliknya dan menghilangkan rasa permusuhan.

Ilmu Tidak Berlawan
"Ilang luput tiada luput
Ilang mati tiada mati
Allah tiada mati
Muhammad pun tiada mati
Larilah engkau
Bukan kuasaku kuasa Allah
Berkat do’a la illaha illallah
Berkat Muhammad-ur-rasulullah"
(Sumber : Anjang, Embau)

Lanjut, Hemansyah, dalam situasi dunia yang semakin terbuka seperti sekarang. Tentu saja berbagai peradaban, termasuk peradaban barat mewarnai dinamika budaya dan peradaban melayu. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka.

Paling tidak, generasi penerus lebih memperhatikan khazanah budaya melayu khususnya Kalimantan Barat agar tidak di gerus zaman. ”dapat di lestarikan walaupun kita tidak menutup diri terhadap perubahan”, imbuhnya.

Tradisi Sastra Lisan Melayu dalam Khazanah Islam
oleh Syf Ratih KD.

Mantra Tradisi Melayu
Salah satu sumbangan penting yang telah diberikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, dimana kata-kata dibebaskan dari beban makna. 
Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau, sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu untuk penciptakaan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya mantra hanyalah “tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan “tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah “tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern —dan penyair itu berasal dari Melayu.

Tetapi, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya hanya akan membuat “tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada “tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi “tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi “tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi “tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa “tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

Jamal D. Rahman, penyair dan pemimpin redaksi Majalah Sastra Horison, Jakarta.

sumber: lpmuntan.blogspot.com/journalbali.com/jalod.wordpress.com